Langsung ke konten utama

Ayu, Sang Sclerowarrior



“Scleroderma mengambil semua yang saya punya dan mengantinya dengan semua hal yang tidak saya suka, dia membuat saya menjadi serba terbatas. Tapi scleroderma memberi apa yang tidak pernah saya bayangkan. Bahkan kalian tidak bisa membayangkan betapa bangganya saya membawa penyakit tak tersembuhkan ini kemanapun  saya pergi”.

Namanya Ayu (28), penyandang scleroderma yang didiagnosa sejak usianya 17 tahun. Scleroderma adalah suatu penyakit jaringan  ikat kronis atau dikenal dengan penyakit rematik auto imun, dimana salah satu ciri utamanya  adalah pengerasan dan penebalan pada kulit.   Hal ini dikarenakan karena produksi kolagen yang tidak terkendali akibat dari sistem imun yang kacau. Jika pada orang yang sehat sistem imun melindungi diri dari penyakit dan hal berbahaya yang menyerang tubuh, yang terjadi pada pasien autoimun sebaliknya, imunitasnya bak musuh dalam tubuhnya. Scleroderma menyerang semua jaringan ikat yang ada di bagian tubuh, seperti kulit, otot, persendian, pembuluh darah, kerongkongan, saluran pencernaan, paru-paru, ginjal, jantung, dan organ internal lainnya. Salah satu ciri utamanya  adalah pengerasan dan penebalan pada kulit Hal lain yang menjadi khas dari penyakit ini adalah munculnya luka di ujung jari atau yang bisa disebut ulcer. Kelelahan, stres dan kedinginan menjadi pencetus dari luka ini. Pembuluh darah yang menyempit membuat aliran darah  dan oksigen tidak lancar sampai ke ujung jari, hinggga bisa membiru sampai keunguan dan bahkan memungkinkan terjadi infeksi.  Untuk itu suhu dingin tidak dianjurkan bagi penyandang scleroderma. Yang khas dari penyakit ini adalah kemiripan wajah pada penyandangnya.



Secara umum, penyandang scleroderma tidak nampak seperti orang yang menderita penyakit tertentu yang nampak secara kasat mata. Sehingga, seringnya orang-orang yang bergaul dengan penyandang scleroderma tidak menyadari bahwa temannya memiliki penyakit autoimun yang tidak bisa disembuhkan. Hal itu pun dirasakan oleh Ayu, ketika beberapa temannya tidak percaya jika ia menderita suatu penyakit yang masih terbilang asing di telinga mereka. Meski para profesional  sudah mengenal penyakit ini sejak 300 tahun lalu, tepatnya tahun1974, namun ketenaran penyakit ini belum begitu dikenal di telinga masyarakat. “ Temenku nggak yakin aku sakit, kalau nggak aku kasih tahu. Apalagi lihat diriku yang jarang diam” . Beruntung lingkungan kerja Ayu tidak mempermasalahkan Ayu ketika pada situasi tertentu harus kontrol di rumah sakit rujukan Provinsi.

Orang dengan Scleroderma (ODS) juga sangat rawan terjadi kelelahan ( fatique). Parahnya mereka membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama bila terjadi kelelahan, bukan hitungan jam atau hari. Melainkan, bulan untuk akhirnya bisa stabil lagi. Ayu sendiri memiliki berbagai cara untuk membantu memulihkan kondisinya, seperti  bertemu teman, ngobrol dan tertawa. “Bagi aku, istirahat tetap nomor wahid. Tapi hanya 30% efeknya, sisanya yah ngobrol ketemu teman”, tawanya meledak.
Saat ini pengobatan scleroderma masih terpusat di rumah sakit-rumah sakit besar, seperti rumah sakit rujukan provinsi. Hal ini sangat disayangkan karena rumah sakit kota terdekat tidak bisa menjangkau sementara tidak semua penyandang scleroderma memiliki akses mudah untuk berobat ke rumah sakit rujukan. Yang sangat menyedihkan tidak semua dokter di kota-kota kecil memahami tentang penyakit scleroderma. Ayu sendiri harus merasakan beberapa kali salah diagnosa di dokter tempatnya ia tinggal, sampai akhirnya ia mendapatkan diagnosa yang sesungguhnya di Rumah Sakit Karyadi. “Aku sampai salah diagnosa beberapa kali di Pemalang, padahal sudah berkonsultasi di dokter ternama. Itu kan buang waktu banget”

Penyakit inilah jawaban yang akhirnya menguak mengapa wajah putihnya kian lama kian menghitam, mengapa kulitnya kelihatan tidak segar padahal sudah mandi, mengapa tubuhnya perlahan mulai kurus padahal ia makan dengan layak. Bertahun-tahun ia mengalami penolakan terhadap penyakitnya, sampai pada suatu titik ia merasa lelah dan akhirnya menerima apapun yang Tuhan berikan “Prosesnya tidak mudah, aku sempat minum alkohol, clubbing, walaupun aku masih kontrol. Tahun 2013 menjadi titik balik hidupku”, Ayu melanjutkan ketika ia dan keluarga belum sepenuhnya menerima sakitnya pergi ke beberapa tepat yang dianggap menyembuhkan menjadi salah satu fokus pengobatan yang dipilih. Dari mulai alternatif berbentuk herbal  sampai lainnya. “ Jangan salah, dulu aku juga sempat berobat ke alternatif dari yang masuk akal sampai enggak, pada akhirnya capek sendiri dan mantap ke jalur medis”. Kini Ayu memang tidak lepas dari obat-obatan medis, beberapa bulan sekali atau bahkan minggu (tergantung kondisi Ayu) ia harus ke Rumah Sakit Rujukan Karyadi.  Seperti beberapa minggu lalu ia menjalani pemeriksaan USG atas jantungnya.
Titik penerimaan Ayu tak lepas dari fotografi. Sebuah dunia yang lalu mengantarkan Ayu menemukan makna lain dalam hidup bahkan di tahun 2016 ia bersama komunitas scleroderma berhasil menyelenggarakan pameran fotografi tunggal di salah satu Mall terbesar di Semarang dimana hasil dari penjualannya 100% disumbangkan untuk kegiatan komunitas scleroderma.



Penerimaan ini membuat Ayu membuka banyak hal, termasuk menjadi bagian dari Komunitas Scleroderma. Komunitas ini hanya ada satu-satunya di Indonesia. Melalui facebook jalinan mereka berkambang. Segala informasi mengenai scleroderma di share  di sana. Anggotanya tidak hanya mereka yang mengalami sakit scleroderma, tetapi juga pada dokter yang ahli mengenai scleroderma. Mereka juga kerap mengadakan kopi darat di kota-kota dimana mereka tinggal untuk saling menguatkan antar anggotanya dan upaya edukasi ke yang lebih luas di masyarakat.  Meski begitu, Ayu dan teman-teman membuka pintu selebar mungkin apabila ada individu yang sehat atau bukan ODS untuk menjadi volunteer di komunitasnya.  “ Justru kami butuh orang-orang yang sehat untuk membantu kami. Beruntung saya dikelilingi orang-orang sehat yang banyak membantu kegiatan komunitas  scleroderma”. Support keluarga dan sahabat dinilai Ayu memang hal yang sangat sangat penting, dan ia beruntung berada dalam lingkaran itu. “ Di luar sana banyak yang sakit scleroderma tapi belum open, entah dari dirinya, entah dari keluarganya yang masih menutupi. Padahal keterbukaan disini menjadi kunci awal untuk penerimaan pada penyakit ini”. Bagi Ayu semakin cepat diagnosa ditegakan, semakin cepat pengobatan dimulai dan semakin cepat scleroderma itu diterima maka semakin cepat dilakukan perbaikan pada kondisinya.

Kini komunitas scleroderma sudah berkembang menjadi Yayasan Scleroderma Indonesia (YSI) dengan Ayu sebagai ketuanya. Sebuah impian darihasil kerja keras yang akhirnya terwujud. Misi edukasi pada masyarakat awam menjadi semangat Ayu dan kawan-kawan, sekaligus support untuk teman-teman ODS untuk lebih membuka dirinya dan menyadari bahwa mereka tidak sendiri.
Ayu tidak menyangka melalui scleroderma ia justru belajar banyak hal.  Mengantarkannya pada pertemuan-pertemuan, peembelajaran-pembelajaran yang tidak ternilai. Saat ia lepasakan, ia justru mendapatkan hal yang tidak ia duga. “Aku bahkan tidak meminta sembuh dari penyakit ini, karena hidupku justru dimulai dari SCLERODERMA”












                                                                                                                  

Komentar